Selasa, 27 November 2012

PROSES MEMBUAT KUJANG

PROSES PEMBUATAN KUJANG

Pada zamannya Kerajaan Pajajaran Sunda masih jaya, setiap proses pembuatan benda-benda tajam dari logam termasuk pembuatan senjata kujang, ada patokan-patokan tertentu yang harus dipatuhi, di antaranya:

1. Patokan Waktu
Mulainya mengerjakan penempaan kujang dan benda-benda tajam lainnya, ditandai oleh munculnya Bintang Kerti, hal ini terpatri dalam ungkapan “Unggah kidang turun kujang, nyuhun kerti turun beusi”, artinya ‘Bintang Kidang mulai naik di ufuk Timur waktu subuh, pertanda masanya kujang digunakan untuk “nyacar” (mulai berladang). Demikian pula jika Bintang Kerti ada pada posisi sejajar di atas kepala menyamping agak ke Utara waktu subuh, pertanda mulainya mengerjakan penempaan benda-benda tajam dari logam (besi-baja)’. Patokan waktu seperti ini, kini masih berlaku di lingkungan masyarakat “Urang Kanékés” (Baduy).


2. Kesucian “Guru Teupa” (Pembuat Kujang)
Seorang Guru Teupa (Penempa Kujang), waktu mengerjakan pembuatan kujang mesti dalam keadaan suci, melalui yang disebut “olah tapa” (berpuasa). Tanpa syarat demikian, tak mungkin bisa menghasilkan kujang yang bermutu. Terutama sekali dalam pembuatan Kujang Pusaka atau kujang bertuah. Di samping Guru Teupa mesti memiliki daya estetika dan artistika tinggi, ia mesti pula memiliki ilmu kesaktian sebagai wahana keterampilan dalam membentuk bilah kujang yang sempurna seraya mampu menentukan “Gaib Sakti” sebagai tuahnya.

3. Bahan Pembuatan Kujang
Untuk membuat perkakas kujang dibutuhkan bahan terdiri dari logam dan bahan lain sebagai pelengkapnya, seperti:
  • Besi, besi kuning, baja, perak, atau emas sebagai bahan membuat waruga (badan kujang) dan untuk selut (ring tangkai kujang).
  • Akar kayu, biasanya akar kayu Garu-Tanduk, untuk membuat ganja atau landean (tangkai kujang). Akar kayu ini memiliki aroma tertentu.
  • Papan, biasanya papan kayu Samida untuk pembuatan kowak atau kopak (sarung kujang). Kayu ini pun memiliki aroma khusus.
  • Emas, perak untuk pembuatan “mata” atau “pamor” kujang pusaka ataukujang para menak Pakuan dan para Pangagung tertentu. Selain itu, khusus untuk “mata” banyak pula yang dibuat dari batu permata yang indah-indah.
  • Peurah” (bisa binatang) biasanya “bisa Ular Tiru”, “bisa Ular Tanah”, “Bisa Ular Gibug”, ”bisa Kelabang” atau “bisa Kalajengking”. Selain itu digunakan pula racun tumbuh-tumbuhan seperti ”getah akar Leteng” “getah Caruluk” (buah Enau) atau “serbuk daun Rarawea”, dsb. Gunanya untuk ramuan pelengkap pembuatan “Pamor”. Kujang yang berpamor dari ramuan racun-racun tadi, bisa mematikan musuh meski hanya tergores.
  • Tuah “Gaib Sakti” sebagai isi, sehingga kujang memiliki tuah tertentu. Gaib ini terdiri dari yang bersifat baik dan yang bersifat jahat, bisa terdiri dari gaib Harimau, gaib Ulat, gaib Ular, gaib Siluman, dsb. Biasanya gaib seperti ini diperuntukan bagi isi kujang yang pamornya memakai ramuan racun sebagai penghancur lawan. Sedangkan untuk Kujang Pusaka, gaib sakti yang dijadikan isi biasanya para arwah leluhur atau para “Guriyang” yang memiliki sifat baik, bijak, dan bajik.
4. Tempat (Khusus) Pembuatan Kujang
Tempat untuk membuat benda-benda tajam dari bahan logam besi-baja, baik kudi, golok, sunduk, pisau, dsb. Dikenal dengan sebutan Gosali, Kawesen, atau Panday. Tempat khusus untuk membuat (menempa) perkakas kujang disebut Paneupaan.
»»  SALAJEUNGNA...

Rabu, 21 November 2012

Jenis Jenis Kujang

Sejarah Kujang

 

Pendahuluan
Jawa adalah salah satu dari 5 pulau besar yang ada di Indonesia. Sebenarnya pulau ini tidak hanya merupakan “daerah asal” orang Jawa semata karena di sana ada orang Sunda yang berdiam di bagian barat Pulau Jawa (Jawa Barat). Mereka (orang Sunda) mengenal atau memiliki senjata khas yang disebut sebagai kujang. Konon, bentuk dan nama senjata ini diambil dari rasa kagum orang Sunda terhadap binatang kud hang atau kidang atau kijang yang gesit, lincah, bertanduk panjang dan bercabang, sehingga membuat binatang lain takut.

MACAM MACAM KUJANG

1.KUJANG CIUNG
  Kujang yang menyerupai burung ciung
2.KUJANG JAGO
   Kujang yang menyerupai aym jago

3.KUJANG KUNTUL
  Kujang yang berbentuk menyerupai burung kuntul






4.KUJANG BANGKONG
    Kujang yang berbentuk menyerupai bangkong (kodok)




5.KUJANG NAGA
Kujang yang menyerupai naga






6.KUJANG BADAK
 Kujang yang menyerupai badak




7.KUDI 
Pakarang yang menyerupai kujang )




 Dilihat dari fungsi nya kujang di bagi beberapa macam yaitu :

1.KUJANG SEBAGAI PUSAKA (lambang keagungan seorang raja atau pejabat kerajaan)
2.KUJANG SEBAGAI PAKARANG (kujang yang berfungsi sebagai senjata untuk berperang)
3.KUJANG SEBAGAI PANGARAK (alat upacara); dan
4.KUJANG SEBAGI PAMANGKAS (kujang yang berfungsi sebagai alat dalam pertanian untuk memangkas, nyacar, dan menebang tanaman).

Struktur Kujang
Sebilah kujang yang tergolong lengkap umumnya terdiri dari beberapa bagian, yaitu:
1.PAMATUK ATAU CONGO, yaitu bagian ujung yang runcing yang digunakan untuk menoreh atau mencungkil;
2.ELUK ATAU SIIH , yaitu lekukan-lekukan pada badan kujang yang gunanya untuk mencabik-cabik tubuh lawan;
3.WARUGA  yaitu badan atau wilahan kujang;
4.MATA DI BAGI BEBERAPA MATA 1 yaitu lubang-lubang kecil yang terdapat pada waruga yang jumlahnya bervariasi, antara 5 hingga 9 lubang. Sebagai catatan, ada juga kujang yang tidak mempunyai mata yang biasa disebut sebagai kujang buta;
5.TONGGONG , yaitu sisi tajam yang terdapat pada bagian punggung kujang;
6.TADAH, yaitu lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang;
7.PAKSI, yaitu bagian ekor kujang yang berbentuk lancip;
8 SELUT, yaitu ring yang dipasang pada ujung gagang kujang;
9.COMBONG, yaitu lubang yang terdapat pada gagang kujang;
10.GANJA ATAU LANDAIAN yaitu sudut runcing yang mengarah ke arah ujung kujang;
11.KOWAK ATAU SARUNG KUJANG yang terbuat dari kayu samida yang memiliki aroma khas dan dapat menambah daya magis sebuah kujang; dan
12.PAMOR berbentuk garis-garis (sulangkar) atau bintik-bintik (tutul) yang tergambar di atas waruga kujang. Sulangkar atau tutul pada waruga kunjang, disamping sebagai penambah nilai artistik juga berfungsi untuk menyimpan racun.
Sebagai catatan, terdapat beberapa pengertian mengenai kata pamor. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990),

PAMOR adalah: baja putih yang ditempatkan pada bilah keris dan sebagainya; lukisan pada bilah keris dan sebagainya dibuat dari baja putih. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:720) disebutkan bahwa pamor adalah baja putih yang ditempakan pada bilah keris dan sebagainya atau lukisan pada bilah keris dan sebagainya dibuat dari baja putih. Dalam Kamus Basa Sunda karangan Satjadibrata (1954:278) disebutkan bahwa pamor adalah “ngaran-ngaran gurat-gurat nu jiga gambar (dina keris atawa tumbak) jeung dihartikeun oge cahaya” yang artinya “pamor adalah nama garis yang menyerupai gambar (baik yang terdapat dalam keris ataupun mata tumbak) juga pamor dapat diartikan cahaya). Dalam bahasa Kawi, berarti campuran atau percampuran. Dan, dalam Enskilopedia Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya (2000:400) disebutkan bahwa pamor adalah permukaan bilah keris yang dipercaya mengandung khasiat baik atau khasiat buruk. Pamor yang berkhasiat baik adalah pamor yang dapat memberi keselamatan kepada pemilik atau pemakainya. Sedangkan pamor yang berhasiat buruk adalah pamor yang membawa sial atau ingin membunuh musuh atau bahkan pemiliknya sendiri.
Selain itu, Ensiklopedia Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya (2000:400) juga menyebutkan bahwa pamor berarti benda-benda yang berasal dari luar angkasa yang digunakan sebagai bahan pembuat kujang.
 Benda-benda luar angkasa dapat dibedakan menjadi 3
1.METEORIT, yaitu benda yang mengandung besi dan nikel yang bila dijadikan kujang akan berwarna putih keabu-abuan (pamor bodas). Pamor ini berkhasiat memberikan keselamatan;
2.SIDERIT, yaitu benda yang hanya mengandung baja sehingga bila dijadikan kujang akan berwarna hitam (pamor hideung). Pamor ini biasanya berkhasiat buruk dan membahayakan; dan
3.AEROLIT , yaitu benda yang apabila telah dijadikan kujang akan berwarna kuning (pamor kancana).
Pamor yang terdapat pada senjata kujang diperkirakan berjumlah sekitar 87 jenis, yaitu: kembang pala, saleunjeur nyere, kenong sarenteng, malati sarenteng, padaringan leber, hujan mas, kemban lo, batu demprak, ngulit samangka, kembang lempes, malati nyebar, simeut tungkul, sinom robyong, beas mawur, baralak ngantay, sagara hieum, nuju gunung, rambut keli, mayang ligar, kembang kopi, tunggul wulung, kembang angkrek, tundung, sungsum buron, simbar simbar, sangga braja, poleng, ombak sagara, pulo tirta, manggada, talaga ngeyembeng, keureut pandan, tambal wengkon, huntu cai, bawang sakeureut, cucuk wader, gunung guntur, gajih, sanak, ngarambut, raja di raja, janus sinebit, kota mesir, lintang kemukus, kembang tiwu, sisit sarebu, tunggak semi, oray ngaleor, pari sawuli, sumur sinaba, selo karang, lintang purba, sumber, prabawa, pangasih, raja kam kam, riajah, bala pandita, pancuran mas, sumur bandung, adeg tilu, tangkil, kendagan, buntel mayit, kembang pakis, dua warna, karabelang, manggar, pandhitamangun suka, borojol, bugis, gedur, tunggak semi, tambol, tumpuk, sekar susun, huntu simeut, raja temenang, pulo duyung, bulan lima, pupus aren, wulan wulan, ruab urab, singkir ros tiwu, dan rante.
Pada zaman Kerajaan Pajajaran masih berdiri, orang yang ahli dalam membuat kujang disebut Guru Teupa. Dalam proses pembuatan sebilah kujang seorang Guru Teupa harus mengikuti aturan-aturan tertentu agar kujang dapat terbentuk dengan sempurna. Aturan-aturan tersebut diantaranya adalah mengenai waktu untuk memulai membuat kujang yang dikaitkan dengan pemunculan bintang di langit atau bintang kerti. Selain itu, selama proses pengerjaan kujang Guru Teupa harus dalam keadaan suci dengan cara melakukan olah tapa (puasa) agar terlepas dari hal-hal yang buruk yang dapat membuat kujang yang dihasilkan menjadi tidak sempurna. Dan, seorang Guru Teupa harus memiliki kesaktian yang tinggi agar dapat menambah daya magis dari kujang yang dibuatnya. Sebagai catatan, agar sebuah kujang memiliki daya magis yang kuat, biasanya Guru Teupa mengisinya dengan kekuatan gaib yang dapat bersifat buruk atau baik. Kekuatan gaib yang bersifat buruk atau jahat biasanya berasal dari roh-roh binatang, seperti harimau, ular, siluman dan lain sebagainya. Sedangkan kekuatan gaib yang bersifat baik biasanya berasal dari roh para leluhur atau guriyang
.
Kelompok Pemilik Kujang
Konon, pada zaman Kerajaan Pajajaran masih berdiri, senjata kujang hanya boleh dimiliki oleh orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu berdasarkan status sosialnya[3] dalam masyarakat, seperti: raja, prabu anom (putera mahkota), golongan pangiwa, golongan panengen, golongan agama, para puteri serta kaum wanita tertentu, dan para kokolot. Sedangkan bagi rakyat kebanyakan, hanya boleh mempergunakan senjata tradisional atau pakakas, seperti golok, congkrang, sunduk, dan kujang yang fungsinya hanya digunakan untuk bertani dan berladang.
Setiap orang atau golongan tersebut memiliki kujang yang jenis, bentuk dan bahannya tidak boleh sama. Misalnya, kujang ciung yang bermata sembilan buah hanya dimiliki oleh Raja, kujang ciung bermata tujuh buah hanya dimiliki oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom, dan kujang ciung yang bermata lima buah hanya boleh dimiliki oleh Girang Seurat, Bupati Pamingkis dan Bupati Pakuan. Selain oleh ketiga golongan tersebut, kujang ciung juga dimiliki oleh para tokoh agama. Misalnya, kujang ciung bermata tujuh buah hanya dimiliki oleh para pandita atau ahli agama, kujang ciung bermata lima buah dimiliki oleh para Geurang Puun, kujang ciung bermata tiga buah dimiliki oleh para Guru Tangtu Agama, dan kujang ciung bermata satu buah dimiliki oleh Pangwereg Agama. Sebagai catatan, para Pandita ini sebenarnya memiliki jenis kujang khusus yang bertangkai panjang dan disebut kujang pangarak. Kujang pangarak umumnya digunakan dalam upacara-upacara keagamaan, seperti upacara bakti arakan dan upacara kuwera bakti sebagai pusaka pengayom kesentosaan seluruh negeri.
Begitu pula dengan jenis-jenis kujang yang lainnya, seperti misalnya kujang jago, hanya boleh dimiliki oleh orang yang mempunyai status setingkat Bupati, Lugulu, dan Sambilan. Jenis kujang kuntul hanya dipergunakan oleh para Patih (Patih Puri, Patih Taman, Patih Tangtu, Patih Jaba, dan Patih Palaju) dan Mantri (Mantri Majeuti, Mantri Paseban, Mantri Layar, Mantri Karang, dan Mantri Jero). Jenis kujang bangkong dipergunakan atau dibawa oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Alas, dan Guru Cucuk. Jenis kujang naga dipergunakan oleh para Kanduru, Para Jaro (Jaro Awara, Jaro Tangtu, dan Jaro Gambangan). Dan, kujang badak dipergunakan oleh para Pangwereg, Pamatang, Panglongok, Palayang, Pangwelah, Baresan, Parajurit, Paratutup, Sarawarsa, dan Kokolot.
Sedangkan, kepemilikan kujang bagi kelompok wanita menak (bangsawan) dan golongan wanita yang mempunyai tugas dan fungsi tertentu, misalnya Putri Raja, Putri Kabupatian, Ambu Sukla, Guru Sukla, Ambu Geurang, Guru Aes, dan para Sukla Mayang (Dayang Kabupatian), kujang yang dipergunakan adalah kujang ciung dan kujang kuntul. Sementara untuk kaum perempuan yang bukan termasuk golongan bangsawan, biasanya mereka mempergunakan senjata yang disebut kudi. Senjata kudi ini berbahan besi baja, bentuk kedua sisinya sama, bergerigi dan ukurannya sama dengan kujang bikang (kujang yang dipergunakan wanita) yang langsing dengan ukuran panjang kira-kira satu jengkal (termasuk tangkainya).
Cara Membawa Kujang
Sebagai sebuah senjata yang dianggap sakral dan memiliki kekuatan-kekuatan magis tertentu, maka kujang tidak boleh dibawa secara sembarangan. Ada cara-cara tertentu bagi seseorang apabila ia ingin pergi dengan membawa senjata kujang, diantaranya adalah: (A) disoren, yaitu digantungkan pada pinggang sebelah kiri dengan menggunakan sabuk atau tali pengikat yang dililitkan di pinggang. Kujang-kujang yang dibawa dengan cara disoren ini biasanya adalah kujang yang bentuknya lebar (kujang galabag), seperti: kujang naga atau kujang badak; (B) ditogel, yaitu dibawa dengan cara diselipkan pada sabuk bagian depan perut tanpa menggunakan tali pengikat. Kujang-kujang yang dibawa dengan cara demikian biasanya adalah kujang yang bentuknya ramping (kujang bangking), seperti kujang ciung, kujang kuntul, kujang bangkong, dan kujang jago; (C) dipundak, yaitu dibawa dengan cara dipikul tangkaian di atas pundak, seperti memikul tumbak. Kujang yang dibawa dengan cara demikian adalah kujang pangarak, karena memiliki tangkai yang cukup panjang; dan (D) dijinjing, yaitu membawa kujang dengan cara ditenteng atau dipegang tangkainya. Kujang yang dibawa dengan cara seperti ini biasanya adalah kujang pamangkas atau kujang yang tidak memiliki kowak atau warangka.
Nilai Budaya
Pembuatan kujang, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk kujang yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah kujang yang indah dan sarat makna. (pepeng)
»»  SALAJEUNGNA...

Budaya Sunda

Unggal bangsa di dunya tangtuna oge boga basa masing-masing anu dijadikeun alat pikeun ngayakeun hubungan antara hiji jelema jeung jelema sejenna dina hirup kumbuh sapopoe. Ku alatan basa jelema bisa muaskeun kabutuhan senina ku jalan ngareka basa sangkan nimbulkeun ajen seni. Ku sabab basa jelema bisa nambahan pangaweruh jeung ngamekarkeun pikiranana. Basa oge mangrupakeun ciri mandiri hiji bangsa. Dina basa kasimpen kabudayaan hiji bangsa. Tegesna mah basa teh nunjukkeun hiji bangsa.
Urang sadaya parantos maphum yen nagara Indonesia teh ngabogaan adat, suku, basa, agama, jeung tata kahirupan anu beda-beda di unggal tempat. Alhamdulillah ku ayana Pancasila anu mangrupakeun dasar nagara jeung palasipah nagara, sanajan beda-beda kabudayaan jeung tata kahirupan oge tapi tetep dina hiji beungkeutan, Negara Kesatuan Republik Indonesia anu ngabogaan motto Bhineka Tunggal Ika.

Salah sahiji unsur tina budaya teh nyaeta basa. Basa Sunda jeung budaya Sunda mangrupakeun hiji hal anu raket pisan hubunganana anu teu bisa dipisahkeun jadi sewang-sewangan. Lamun urang nyaritakeun basa Sunda hartina urang nyaritakeun budaya Sunda.Sanajan nagara netepkeun basa Indonesia jadi basa nagara, tapi basa daerah tetep dipiara jeung dimekarkeun ku nagara. Atuh rahayatna mah dikudukeun pisan. Basa daerah ku nagara dijadikeun alat pikeun ngamekarkeun jeung ngadukung budaya daerah, alat pikeun ngarojong basa nasional, jeung jadi basa panganteur di sakola dasar. Di daerah sorangan basa teh mangrupakeun lambang kareueus daerah, ciri daerah, jeung alat komunikasi dina kulawarga jeung masyarakat daerah. Salah sahiji cara pikeun nanjeurkeun kabudayaan daerah diantarana ku jalan ngamumule basa Sunda, babakuna mah ku para rumaja.

Lamun ku urang dibandungan dina kahirupan sapopoe, katinggalina para rumaja ayeuna loba anu kurang wanoh kana basa Sunda. Memang, henteu sakabeh rumaja di Jawa Barat ngabogaan sikep saperti kitu. Tapi hal ieu kudu jadi kaprihatinan urang sarerea. Sabab saha deui anu bakal miara basa Sunda teh iwal ti urang sadayana, para rumaja. Ulah nepi ka urang Sunda teu wawuh kana basa Sunda. Kacida teungteuingeunana lamun hal eta karandapan ku urang Sunda.

Naon sababna rumaja ayeuna asa kurang reueus kana basa Sunda. Lamun dipaluruh, salah sahiji sababna nyaeta ayana anggapan yen basa Sunda teh hese diulik, hese dilarapkeun dina kahirupan sapopoe, teu demokratis, kapangaruhan ku feodalisme, basa Sunda teu ngindung ka waktu teu ngabapa ka jaman, jeung rea-rea deui alesan sejenna.
Padahal dina jaman ayeuna anu disebut era globalisasi jeung era informasi, babari pikeun urang neangan sumber, alat atawa literatur keur neuleuman basa Sunda, boh eta dina tipi, radio, buku, majalah, atawa koran.

Da kumaha ieu mah, lamun lalajo tipi nu dilalajoanan teh saukur pilem luar negeri jeung acara musik wungkul. Sinetron basa Sunda, wayang, hiburan tradisional Sunda, jeung acara nu ngagunakeun basa Sunda mah jigana tara ditolih-tolih acan salian ti lalaguan. Atuh dina radio sarua deuih, jigana rumaja ayeuna leuwih nyaho nu ngarana Aghata Christi, Enid Blyton, Ian Fleming, batan pangarang-pangarang Sunda saperti Yus Rusyana, M.A. Salmun, Ajip Rosyidi, Karno Kartadibrata jeung R. Ading Affandi. Kuduna mah urang teh ngarasa reueus kusabab di Jawa Barat, di tatar Sunda loba pangarang anu produktif,anu bukuna bisa dibaca ku urang, aya keneh majalah jeung koran basa Sunda anu bisa dijadikeun alat pikeun ngamekarkeun basa jeung budaya Sunda.

Cindekna mah lain ulah nyaho kana budaya deungeun, tapi ulah nepi ka budaya sorangan ditampolerkeun.Dina basa Sunda aya nu disebut undak-usuk basa, unggah-ungguh anu luyu jeung tatakrama basa. Hormat ka batur, ka saluhureun jeung ka sahandapeun. Ieu lain hartina basa Sunda kapangaruhan ku feodalisme, tapi nunjukkeun ajen luhur tina basa Sunda anu ngahargaan ka sasama manusa. Ulah nepi ka undak-usuk basa teh jadi hahalang pikeun ngagunakeun basa Sunda dina kahirupan sapopoe.
Ti baheula basa Sunda geus bisa narima pangaruh ti basa nu lain anu disebut basa kosta. Loba pisan basa kosta anu geus jadi basa Sunda. Teu bener lamun aya nu nyebutkeun basa Sunda teh teu demokratis, teu luyu jeung jaman jeung nutup diri tina pangaruh luar.

Dina kasempetan ieu kuring umajak ka para saderek sadaya, hayu urang babarengan miara basa Sunda. Nya rumaja ayeuna nu boga tanggung jawab pikeun ngamumulena. Mun ti ayeuna geus ngapilainkeun ka basa sorangan, eta teh karugian keur urang tatar Sunda hususna, jeung nagara umumnya.

Kacida deudeuhna lamun jaga anak incu urang basa Sundana deet pisan, kabeungharan kecapna bisa diitung ku ramo, komo kamampuan ngarang dina basa Sunda jeung ngapresiasikeun sastra Sunda. Kacida ngagerihna hate urang jeung karuhun-karuhun urang lamun anak incu urang teu nyahoeun deui saha ari udeg-udeg teh, naon ari lengkob, ngaseuk, sapocong, wanci pecat sawed, usum ngijih, jamotrot, bocokol, pagupon, paranje, teu bisa ngabedakeun antara boga, gaduh, jeung kagungan. Boa-boa lamun hayang diajar basa Sunda jeung sastra Sunda oge kudu ngulik ka mancanagara, ka Walanda, kusabab di Indonesia euweuh ahlina. Atuh basa Sunda teh kari waasna wae, kari sajarah, yen di tatar Sunda, di Jawa Barat teh baheulana marake basa Sunda.

Sakali deui kuring umajak, ngamumule basa Sunda teh lain tanggung jawab pamarentah wungkul, lain tanggung jawab sastrawan jeung budayawan Sunda wungkul, tapi tanggung jawab urang sarerea, para rumaja.Saha deui nu baris ngajaga hirup-huripna, ngariksa, miara basa Sunda teh iwal ti urang. Lamun urang ngamumule basa Sunda lain hartina urang primordialis atawa provinsionalis, tapi urang geus ngajaga jeung ngamekarkeun budaya daerah, budaya nasional, geus milu partisipasi dina pangwangunan PJP II utamana di Jawa Barat.
»»  SALAJEUNGNA...